Aksi Hari Perempuan di Yogyakarta Sempat Diadang Warga

Aksi Hari Perempuan di Yogyakarta Sempat Diadang Warga

Yogyakarta, CNN Indonesia -- 

Aksi aktivis memperingati Hari Perempuan Internasional 2021 di depan Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Danurejan, Kota Yogyakarta, mengalami upaya pembubaran paksa oleh warga, Senin (8/3).

Massa aksi yang diketahui tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Yogyakarta terpantau tiba di depan Kantor Gubernur DIY, Jalan Suryatmajan, timur Jalan Malioboro, kurang lebih pukul 14.50 WIB.

Berjumlah puluhan orang, rombongan FPR tiba dengan satu unit mobil bak terbuka dan puluhan kendaraan sepeda motor.

Tak berselang lama tiba satu unit becak motor (bentor) yang mengadang massa aksi, disusul sekelompok warga. Berdasarkan pantauan, mereka yang melakukan upaya pengadangan itu terlihat sebagian berseragam organisasi masyarakat (ormas) yang datang dari sisi barat.
 

Warga mendesak massa aksi membubarkan diri dan melakukan putar balik. Sementara beberapa pendemo sempat gamang, sebagian dari warga melakukan aksi kekerasan untuk memukul mundur pengunjuk rasa. Warga yang sebagian berseragam ormas itu mendorong serta mengangkat ban depan motor pendemo. Bahkan, salah satu peserta unjuk rasa terlihat sempat terkena pukulan dari salah seorang warga.

Sampai akhirnya jajaran Satpol PP DIY dan Polresta Yogyakarta turun ke lapangan, tensi panas baru bisa diredakan.

Arif (20), salah seorang peserta yang tergabung dalam Front Mahasiswa Nasional (FPN) bagian dari FPR mengaku mendapatkan bogem mentah dari anggota ormas. Ia mengaku, padahal pihaknya datang dengan damai dan menerapkan protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19.

"Memakai masker semua, ketika baru sampai kantor Gubernur DIY kita langsung direpresi dari ormas tadi. Dipukul tanpa alasan yang jelas sambil teriak pandemi-pandemi. Saya berusaha melindungi kepala saja. Ada 3-5 orang yang mukul saya," kata dia.

Padahal, menurutnya, menyuarakan aspirasi merupakan hak masyarakat. Represi macam ini, bagi dia adalah bagian dari pemberangusan demokrasi.

Sementara, Heru dari Paguyuban Becak Motor Yogyakarta (PBMY) adalah salah seorang warga yang menolak aksi unjuk rasa ini. Ia sempat terlibat dalam mediasi berujung damai antar kedua belah pihak. Pihaknya menentang lantaran aksi demo macam ini berdampak pada pemasukan para pencari nafkah di seputaran kawasan Malioboro.

"Kalau demo-demo wisatawan kan takut logikanya gitu aja. Ndak neko-neko, wisatawan kalau ada demo takut," ujarnya singkat.

Kepala Seksi Pengendalian dan Operasional Satpol PP DIY, Edhy Hartana menyebut tidak ada surat pemberitahuan atau izin menyelenggarakan aksi demo FPR di Kompleks Gubernuran. Walaupun ada, kata Edhy, sejatinya aksi unjuk rasa di depan Gubernuran itu akan ditolak karena bertentangan dengan isi Pergub DIY Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka.

Beleid tersebut salah satunya melarang aksi demo digelar di kawasan Istana Negara Gedung Agung, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kraton Kadipaten Pakualaman, dan Kotagede. Satu kawasan lagi, yakni Malioboro yang di dalamnya terletak lokasi Kantor Gubernur DIY.

Sementara hasil mediasi tadi menghasilkan kesepakatan antara warga dan pendemo. Unjuk rasa diperbolehkan dengan hanya diwakili sepuluh orang saja.

"Untuk istilahnya kita sama-sama bisa menyampaikan aspirasi dan masyarakat tidak terganggu sesuau protokol kesehatan mereka (warga dan pendemo) minta sepuluh orang dengan protokol kesehatan, jaga jarak dan pakai masker," kata Edhy.

Melalui aksi ini, massa menyerukan 20 tuntutan kepada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin, yang beberapa di antaranya: Hentikan perampasan dan monopoli tanah; hentikan diskriminasi upah pada buruh dan buruh tani perempuan; berikan jaminan perlindungan terhadap perempuan Indonesia dari segala bentuk kekerasan; berikan cuti haid dan cuti hamil pada buruh perempuan.


Print